Hukum Menyedekahkan Uang Temuan

Hukum Menyedekahkan Uang Temuan

Dampak Sedekah Uang Haram pada Pahala Puasa

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sedekah dari uang haram tidak akan mendatangkan pahala. Bahkan, justru dapat menambah dosa bagi yang memberikannya. Lalu, bagaimana dengan dampaknya pada pahala puasa? Apakah pahala puasa dapat batal jika kita bersedekah dari uang haram?

Menurut para ulama, sedekah dari uang haram tidak secara langsung membatalkan pahala puasa. Sebab, puasa merupakan ibadah yang memiliki hukum tersendiri dan tidak terkait langsung dengan ibadah sedekah. Namun, sedekah dari uang haram dapat mengurangi nilai pahala puasa, karena ibadah puasa juga menuntut kita untuk menjaga harta dan makanan kita dari hal-hal yang haram.

Sebagai umat Muslim yang taat, sudah seharusnya kita menjauhi harta haram dan mengutamakan harta halal dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bersedekah. Meskipun sedekah dari uang haram tidak langsung membatalkan pahala puasa, namun dapat menguranginya. Oleh karena itu, marilah kita berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan harta yang halal dan menggunakannya untuk beribadah, termasuk bersedekah, agar kita dapat memperoleh pahala yang berlimpah dan berkah dari Allah SWT.

Batasan Pengetahuan dan Kesalahan

Namun, perlu diingat bahwa hukum membatalkan pahala ini berlaku jika seseorang mengetahui dan sengaja menyumbangkan uang haram. Jika seseorang menyumbangkan uang haram tanpa mengetahui asal-usulnya, atau jika ia melakukan kesalahan yang tidak disengaja, maka pahala puasanya tidak akan batal. Allah SWT Maha Pengampun dan akan menerima taubat hamba-Nya yang berbuat salah secara tidak sengaja.

Konsekuensi Menyedekahkan Uang Haram

Menyedekahkan uang haram bukan hanya tidak diterima oleh Allah SWT, tetapi juga dapat mengurangi pahala puasa. Hal ini dikarenakan puasa adalah ibadah yang mengharuskan kita untuk membersihkan diri dari segala dosa dan kekotoran, termasuk dosa yang bersumber dari harta yang tidak halal.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memperoleh harta dari jalan yang haram dan menyedekahkannya, maka sedekahnya tidak diterima dan dosanya bertambah.” (HR. Ahmad)

Oleh karena itu, sebagai umat Islam yang bertakwa, kita harus senantiasa menjaga kesucian harta kita dan menghindari penggunaan uang haram dalam segala bentuk ibadah, termasuk bersedekah.

Menyedekahkan uang haram hukumnya tidak diperbolehkan dan dapat mengurangi pahala puasa yang kita jalani. Hal ini dikarenakan sedekah yang diterima oleh Allah SWT hanya berasal dari harta yang halal dan baik. Sebagai warga Desa Cikoneng yang menjunjung tinggi ajaran Islam, mari kita senantiasa menjaga kesucian harta kita dan menggunakannya untuk kebaikan.

**Menyedekahkan Uang Haram: Apakah Ini Membatalkan Pahala Puasa Anda?**

Dalam menjalani ibadah puasa, tentu kita mengharapkan pahala yang berlimpah. Namun, bagaimana jika sedekah yang kita berikan ternyata berasal dari sumber yang tidak halal? Apakah hal tersebut dapat membatalkan pahala puasa kita?

Hukum Sedekah dari Uang Haram

Ulama sepakat bahwa sedekah dari uang haram hukumnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah SWT. Sebab, sedekah merupakan ibadah yang mengharuskan harta yang disedekahkan berasal dari sumber yang halal. Jika harta yang disedekahkan haram, maka ibadah sedekah tersebut tidak akan bernilai pahala, bahkan justru dapat menambah dosa bagi yang memberikannya. Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak akan menerima sedekah dari harta yang haram.” (HR. Muslim)

Selain itu, memberikan sedekah dari uang haram juga merupakan bentuk penipuan terhadap penerima sedekah. Sebab, penerima sedekah berhak atas harta yang halal dan berkah, bukan harta yang didapat dengan cara yang tidak dibenarkan. Oleh karena itu, bagi kita yang ingin mendapatkan pahala sedekah, pastikan bahwa harta yang kita gunakan untuk bersedekah berasal dari sumber yang halal.

Hukum Menyedekahkan Uang Haram

Dalam ajaran Islam, menyumbangkan uang haram hukumnya tidak diperbolehkan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 267, “Hai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menginfakkannya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa sedekah yang kita berikan haruslah berasal dari harta yang halal dan baik. Uang haram yang diperoleh dari hasil korupsi, pencurian, judi, atau cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama tidak boleh disedekahkan.

Pentingnya Mencari Sumber Rezeki yang Halal

Uang haram mengacu pada pendapatan yang diperoleh melalui cara-cara yang dilarang oleh hukum atau syariat Islam. Sumber uang haram dapat bermacam-macam, mulai dari korupsi, pencurian, pemerasan, hingga perjudian. Sebagai umat Muslim, kita موظف untuk mencari sumber rezeki yang halal, karena rezeki yang halal akan mendatangkan keberkahan dan pahala.

Hukum Menyedekahkan Uang Haram

Menurut syariat Islam, menyedekahkan uang haram tidak diperbolehkan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah diterima sedekah dari hasil curian.” Hadis ini menunjukkan bahwa sedekah yang berasal dari uang haram tidak akan diterima oleh Allah SWT.

Pengaruhnya Terhadap Pahala Puasa

Lantas, apakah menyedekahkan uang haram dapat membatalkan pahala puasa? Jawabannya adalah bisa ya bisa tidak. Jika seseorang menyumbangkan uang haram dalam keadaan tahu dan sengaja, maka pahala puasanya bisa saja batal. Hal ini karena sedekah yang berasal dari uang haram tidak akan diterima oleh Allah SWT, sehingga tidak dapat menjadi amal saleh yang pahalanya bisa dihitung untuk menambah pahala puasa.

Kewajiban Bertaubat dan Memperbaiki Diri

Bagi seseorang yang telah menyumbangkan uang haram, wajib hukumnya untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Ia harus menghentikan perbuatan salah yang membuatnya memperoleh uang haram, dan mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya yang berhak. Dengan bertaubat dan melakukan perbuatan baik lainnya, insya Allah dosa-dosanya akan diampuni dan pahala yang hilang dapat diganti dengan amal saleh yang baru.

Menyedekahkan uang haram tidak diperbolehkan dalam Islam, dan dapat membatalkan pahala puasa jika dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mencari sumber rezeki yang halal dan menghindari perbuatan yang dapat mengarah pada memperoleh uang haram. Jika kita telah terlanjur menyumbangkan uang haram, wajib bagi kita untuk bertaubat dan memperbaiki diri agar dosa-dosa kita diampuni dan pahala yang hilang dapat diganti.

Pentingnya Mencari Nafkah yang Halal

Untuk menghindari penggunaan uang haram, kita harus memastikan bahwa cara kita mencari nafkah halal dan diridhai oleh Allah SWT. Artinya, kita harus bekerja keras dengan usaha yang benar dan halal, tanpa melanggar hukum atau merugikan orang lain. Jika kita diberkahi dengan harta yang halal, maka kita dapat menggunakannya untuk bersedekah dengan ikhlas dan berharap mendapatkan pahala yang berlipat ganda.

Dalam pandangan Islam, sedekah tidak hanya sekedar memberi harta kepada orang lain, tetapi juga merupakan bentuk ibadah yang memiliki syarat dan ketentuan tertentu. Salah satu syarat tersebut adalah sumber harta yang digunakan untuk sedekah harus halal. Jika kita memberi sedekah dari harta yang tidak halal, maka pahala sedekah kita akan tertolak. Sebaliknya, jika kita memberi sedekah dari harta yang halal, maka pahala kita akan berlipat ganda dan kita akan mendapatkan berkah dari Allah SWT. Jadi, sangat penting bagi kita untuk berhati-hati dalam menggunakan harta kita dan memastikan bahwa harta tersebut diperoleh melalui cara yang halal dan diridhai oleh Allah SWT.

Menyedekahkan uang haram tidak hanya akan membatalkan pahala puasa, tetapi juga berpotensi menjadi dosa tambahan. Oleh karena itu, umat Islam disarankan untuk menghindari penggunaan uang haram dan berhati-hati dalam memberikan sedekah. Menyedekahkan uang halal dengan niat yang ikhlas akan melipatgandakan pahala dan memberikan berkah bagi pemberi dan penerimanya.

Dalam Islam, hukum judi jelas haram. Diibaratkan bahwa jika bersedekah dengan uang judi seperti mencuci kain dengan air kencing, bukannya bersih malah tambah kotor. Foto ilustrasi/ist

menggunakan uang judi? Dalam Islam, hukum judi jelas haram. Diibaratkan bahwa jika bersedekah dengan uang judi seperti mencuci kain dengan air kencing, bukannya bersih malah tambah kotor.

sendiri adalah amalan yang sangat mulia, bahkan sangat berpahala. Untuk mengamalkanya, harus dilakukan dengan cara yang baik dan mulia pula. Apalagi ini tentang harta, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah:188)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa kata memakan yang ada pada ayat di atas merupakan penggambaran fenomena umum. Artinya, motivasi sebagian besar orang dalam memiliki harta adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya terhadap makanan. Jadi, penggunakan kata memakan pada ayat di atas bukan bertujuan membatasi keharaman pada memakan saja.

yang diperoleh dengan cara tidak benar mencakup seluruh jenis pemanfaatan. Seseorang yang memperoleh harta dengan cara yang tidak benar, baik itu judi, korupsi, mencuri dan sejenisnya, haram hukumnya memanfaatkan harta tersebut.

Seperti diungkap Ustadz Abdurrochim yang dilansir

, para ulama membagi sesuatu yang diharamkan dalam dua kategori: pertama, haram secara dzatnya. misalnya, daging babi, daging anjing, bangkai, darah dan sejenisnya. Kedua, haram secara hukum. Bisa jadi sesuatu itu halal secara dzat, hanya saja cara memperolehnya tidak sesuai dengan syariat maka haram pula mengkonsumsinya. Misalnya, buah-buahan hasil curian, uang hasil korupsi, uang hasil judi dan lain-lain. Allah Subhanahu wa ta'ala mengharamkan kedua jenis harta di atas.

Abu Mas’ud Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam melarang menerima bayaran jual-beli anjing, bayaran zina dan bayaran praktek perdukunan (sihir).”(HR Bukhari Muslim)

Hadis ini bisa menjadi landasan keharaman suatu harta yang diperoleh dengan cara yang tidak benar.

Lantas bolehkah kita bersedekah dengan harta yang diperoleh dengan cara tersebut? Tentang hal ini, Allah Subhanahu wa ta'ala menjelaskannya dalam Al-Qur'an:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِنۡ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّاۤ اَخۡرَجۡنَا لَـكُمۡ مِّنَ الۡاَرۡضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الۡخَبِيۡثَ مِنۡهُ تُنۡفِقُوۡنَ وَلَسۡتُمۡ بِاٰخِذِيۡهِ اِلَّاۤ اَنۡ تُغۡمِضُوۡا فِيۡهِ‌ؕ وَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰهَ غَنِىٌّ حَمِيۡدٌ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS. Al-Baqarah:267)

Kemudian hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima sholat tanpa bersuci dan sedekah dari hasil korupsi (ghulul).” (HR An-Nasa’i)

Berdasarkan ayat dan hadis di atas, Allah Subhanahu wa ta'ala tidak menerima sedekah harta yang diperoleh melalui cara yang tidak benar. Allah ta'ala hanya akan menerima sedekah harta yang berasal dari sumber yang halal.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengasuh rubrik Konsultasi ZIS Majalah Peduli yang saya hormati. Saya mohon penjelasan, apakah boleh kita bersedekah atau berzakat menggunakan uang haram ? Kalau boleh, apakah bisa uang haram disucikan agar bisa menjadi halal dan bisa disedekahkan? Sekian, dan terimakasih atas jawabannya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Misbahul Munir, Pasuruan, 08127845xxxx

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Misbahul Munir yang terhormat. Dalam sebuah hadis diterangkan, bahwa Allah itu adalah Dzat yang baik, dan tidak menerima suatu ibadah atau suatu amaliah kecuali yang baik-baik saja. Karena itu, Allah tidak akan menerima sedekah atau zakat yang dibayarkan dengan dengan harta yang haram. Bahkan orang yang melakukan hal seperti ini, doa-doanya tidak akan diterima oleh Allah. Bahkan al-Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa ongkos pekerjaan yang berhubungan dengan maksiat itu pekerjaan haram adalah haram juga, dan mensedekahkannya juga tidak boleh dan tidak sah.

Al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab juga menukil pendapat dari al-Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki harta yang haram dan ingin bertaubat, maka jika pemilik harta tersebut masih hidup, wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau wakilnya, dan jika pemiliknya sudah meninggal dunia maka harta tersebut diberikan kepada ahli warisnya, dan jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hendaknya dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin yang bersifat umum, semisal untuk membangun masjid.

Berdasarkan uraian di atas, berarti diperbolehkan membangun masjid dengan harta yang dihasilkan dari pekerjaan yang haram, seperti harta yang dihasilkan dari penjualan minuman keras, dan hal tersebut dilakukan bukan dalam rangka sedekah, namun sebagai bentuk taubat seseorang yang memiliki harta haram.

Kesimpulannya, bahwa tidak sah sedakah atau zakat dari harta haram. Kemudian jika si pelaku yang memiliki harta haram itu ingin bertaubat, maka harta tersebut harus dikembalikan pada pemiliknya atau wakilnya. Jika pemiliknya sudah wafat, maka serahkan pada ahli warisnya. Namun jika tidak ada, maka harta tersebut ditasarufkan pada kemashlahatan muslimin. Tasaruf ini tidak dikatakan sedekah, namun bentuk pembebasan diri dari harta haram tersebut. Selengkapnya, silakan merujuk pada kitab al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (III/104), al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab (9/351), dan Ihya’ ‘Ulumuddin (II/91). Wallahu a’lam bish-shawab.

LUQATHAH (BARANG TEMUAN)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Luqathah Al-Luqathah yaitu setiap harta yang terjaga yang dimungkin-kan hilang dan tidak dikenali siapa pemiliknya.

Dan lebih sering dipakai untuk selain hewan, adapun untuk hewan maka dikatakan dhaalah.

Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang (Multaqith) Barangsiapa menemukan barang, maka wajib baginya untuk mengetahui jenis dan jumlahnya, kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, kemudian ia menyimpannya dan diumumkan selama setahun. Apabila pemiliknya memberitahukannya sesuai ciri-cirinya, maka ia wajib memberikan kepada orang tersebut walaupun setelah lewat satu tahun, jika tidak (ada yang mengakuinya), maka ia boleh memanfaatkannya.

Diriwayatkan dari Suwaid bin Ghaflah, ia berkata, “Aku bertemu dengan Ubaiy bin Ka’ab, ia berkata, ‘Aku menemukan sebuah kantung yang berisi seratus dinar, lalu aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau bersabda, ‘Umumkan dalam setahun.’ Aku pun mengumumkannya selama satu tahun, dan aku tidak menemukan orang yang mengenalinya. Kemudian aku mendatangi beliau lagi, dan bersabda, ‘Umumkan selama satu tahun.’ Lalu aku mengumumkannya dan tidak menemukan (orang yang mengenalnya). Aku mendatangi beliau untuk yang ketiga kali, dan beliau bersabda:

احْفَظْ وِعَاءَهَا، وعَدَدَهَا، وَوِكَاءَهَا، فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلاَّ فَاسْتَمْتِعْ بِهَا.

“Jagalah tempatnya, jumlahnya dan tali pengikatnya, kalau pemiliknya datang (maka berikanlah) kalau tidak, maka manfaatkanlah.”

Maka aku pun memanfaatkannya. Setelah itu aku (Suwaid) bertemu dengannya (Ubay) di Makkah, ia berkata, ‘Aku tidak tahu apakah tiga tahun atau satu tahun.’” [1]

Dari ‘Iyadh bin Himar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَا عَدْلٍ أَوْ ذَوَيْ عَدْلٍ ثُمَّ لاَ يُغَيِّرْهُ وَلاَ يَكْتُمْ، فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا وَإِلاَّ فَهُوَ مَالُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.

“Barangsiapa yang mendapatkan barang temuan, maka hendaklah ia minta persaksian seorang yang adil atau orang-orang yang adil, kemudian ia tidak menggantinya dan tidak menyembunyikannya. Jika pemiliknya datang, maka ia (pemilik) lebih berhak atasnya. Kalau tidak, maka ia adalah harta Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.’”[2]

Kambing Dan Unta Yang Tersesat (Hilang) Barangsiapa yang menemukan kambing, maka hendaklah ia mengambilnya dan mengumumkannya, jika (pemiliknya) mengakuinya (maka dikembalikan kepadanya) kalau tidak, maka ia (boleh) memilikinya. Dan barangsiapa yang menemukan unta, tidak halal baginya untuk mengambilnya karena unta tidak dikhawatirkan atasnya.

Dari Zaid bin Khalid al-Juhani Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Datang seorang Badui kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya kepadanya tentang apa yang ia temukan. Beliau bersabda:

عَرِّفْهَا سَنَةً ثُمَّ اعْرِفْ َعِفَاصَهَاِ وَوِكَاءَهَا فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يُخْبِرُكَ بِهَا وَإِلاَّ فَاسْتَنْفَقَهَا.

“Umumkan selama satu tahun, kemudian kenalilah tempatnya dan tali pengikatnya, apabila datang seseorang memberitahukan kepadamu tentangnya maka berikanlah, jika tidak maka belanjakanlah“.

Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan kambing yang tersesat?’ Beliau menjawab, ‘Itu milikmu atau milik saudaramu atau milik serigala.’ Ia berkata, ‘Bagaimana dengan unta yang tersesat?’ Maka wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah dan bersabda, ‘Apa hubungannya denganmu? Ia membawa sepatu dan kantong airnya, ia bisa datang ke tempat air dan memakan tumbuhan.’” [3]

Hukum (Menemukan) Makanan Dan Sesuatu Yang Remeh Barangsiapa yang menemukan makanan di jalan, maka ia boleh memakannya, dan barangsiapa yang menemukan sesuatu yang remeh (tidak berharga) tidak menarik, maka ia boleh mengambilnya dan memilikinya.

Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melewati sebiji kurma di jalan, lalu beliau bersabda:

لَوْ لاَ أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ َلأَكَلْتُهَا.

“Seandainya aku tidak takut kalau ia dari (harta) shadaqah, niscaya aku akan memakannya.’”[4]

Luqathah Di Tanah Haram Adapun luqathah (barang hilang) di tanah Haram, maka tidak boleh diambil kecuali untuk diumumkan selamanya, dan tidak boleh memilikinya setelah satu tahun seperti yang lainnya.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلاَ تَحِلُّ ِلأَحَدٍ بَعْدِي، وَإِنَّمَا أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا، وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا، وَلاَ تُلْتَقَطُ لُقَطَتُهَا، إِلاَّ لِمُعَرِّفٍ.

“Sesungguhnya Allah mengharamkan Makkah, tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal bagi seorang pun setelahku, dan hanyalah di halalkan bagiku sesaat dari waktu siang. Tidak boleh dicabut ilalangnya, tidak di tebang pohonnya, tidak diusir buruannya dan tidak diambil luqathahnya kecuali bagi orang yang mengumumkannya.” [5]

Laqiith (Anak Temuan)

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M] _______ Footnote [1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/78, no. 2426), Shahiih Muslim (III/1350, no. 1723), Sunan at-Tirmidzi (II/414, no. 1386), Sunan Ibni Majah (II/837, no. 2506), Sunan Abi Dawud (V/118, no 1685) [2]. Shahih: [Shahih Sunan Ibni Majah (no. 2032), Sunan Ibni Majah (II/837, no. 2505), Sunan Abi Dawud (V/131, no. 1693) [3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/80, no. 2427), Shahiih Muslim (III/1348, no. 1722 (2)), Sunan at-Tirmidzi (II/415, no. 1387), Sunan Ibni Majah (II/836, no. 2504), Sunan Abi Dawud (V/123, no. 1688). [4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/86, no. 2431), Shahiih Muslim (II/752, no. 1071), Sunan Abi Dawud (V/70, no. 1636). [5]. Muttafaq ‘alaih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1751), Irwaa-ul Ghaliil (no. 1057)], Shahiih al-Bukhari (IV/46, no. 1833).

Halo Tribun Lampung. Saya pembaca setiamu. Saya ingin tanya apa hukumnya meminjami uang orang lain yang didapat dari hasil berjudi tapi punya niat ingin mengembalikannya? Terima kasih.

Pengirim: +6285669648xxx

Sebaiknya tidak usah meminjam uang dari sumber yang tidak jelas (hasil judi). Karena itu batil atau dilarang agama. Lebih baik meminjam di bank syariah yang sudah jelas sumbernya dan tidak ada riba.

H Mawardi ASKetua MUI Lampung (reny)